JURNAL PERATURAN KEHIDUPAN DALAM ISLAM



PERATURAN HIDUP DALAM ISLAM
NAMA : Ade Wildan Khairana Sudirman
Nim : 1708106078
Kelas : Tadris IPA Biologi C / 1
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Abstrak
            Islam merupakan agama yang sempurna yang mengatur hubungan manusia dan penciptanya , dengan dirinyan dan dengan manusia sesamanya. Saat ini Islam hanya dijadiakn sebagai agama spiritual saja padahal islam mengatur segala aspek kehidupan, dari mulai bangun sampai tidur kembali. Islam juga mengatur ekonomi , sistem negara dan juga hukum-hukumnya.

Pendahuluan
            Kini islam hanya di jadikan agama spiritual saja dan hanya digunkan saat beribadah saja, Islam hanya di pandang sebagai agama rohani tanpa di jadikan mabda atau pandangan hidup oleh kaum muslimin di seluruh dunia.karena sistem yang di anut di berbagai negara kaum muslimin bukan sistem yang  berlansakan dari pemahaman agama bahkan ada yang  memisahkan agama dari kehidupan. Bahan ada juga yang menafikan agama dari kehidupannya.
            Islam adalah sebuah din yang sempurna. Sejak diturunkan empat belas abad silam. Islam telah memberikan kepada manusia pemecahan secara menyeluruh terhadap semua permasalahan yang sedang maupun akan di hadapi maunusia. Allah SWT dalam hal ini berfirman :
“Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, mencukupkan bagi kalian nikmat-Ku, dan meridhai Islam sebagai agama kalian” (TQS.Al Maidah [5]:3)
            Sebagai pedoman yang di buat oleh Allah, tentu saja Al-Quran maupun memecahkan permasalahan yang terjadi pada mahluknya sekaligus bagaimana memecahkan problematika terjadi atasnya.wujud dari kesempurnaan ajaran Islam, Islam tidak hanya mengatur masalah hubungan manusia dengan penciptanya (ibadah), tetapi Islam juga mengatur dan menyelesikan permasalahan hubungan manusia dengan dirinya sendiri maupun dengan sesamanya (muamalah).
            Metode
            Jenis penelitian yang digaunakan adalah jenis penelitian kulaitatif yaitu penelitian yang secara langsung terhadap objek yang di teliti. Metode yang dilakuan untuk membuat jurnal “PERATURAN HIDUP DALAM ISLAM” dengan cara melihat fakta saat ini, umat Islam seperti anak ayam yang kehilangan iduknya ataupun seperti buih di lautan.
Pendahuluan
Kini islam hanya di jadikan agama spiritual saja dan hanya digunkan saat beribadah saja, Islam hanya di pandang sebagai agama rohani tanpa di jadikan mabda atau pandangan hidup oleh kaum muslimin di seluruh dunia.karena sistem yang di anut di berbagai negara kaum muslimin bukan sistem yang berlansakan dari pemahaman agama bahkan ada yang memisahkan agama dari kehidupan. Bahan ada juga yang menafikan agama dari kehidupannya.
Islam adalah sebuah agama  yang sempurna. Sejak diturunkan empat belas abad silam. Islam telah memberikan kepada manusia pemecahan secara menyeluruh terhadap semua permasalahan yang sedang maupun akan di hadapi maunusia. Allah SWT dalam hal ini berfirman :
“Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, mencukupkan bagi kalian nikmat-Ku, dan meridhai Islam sebagai agama kalian” (TQS.Al Maidah [5]:3)
Sebagai pedoman yang di buat oleh Allah, tentu saja Al-Quran maupun memecahkan permasalahan yang terjadi pada mahluknya sekaligus bagaimana memecahkan problematika terjadi atasnya.wujud dari kesempurnaan ajaran Islam, Islam tidak hanya mengatur masalah hubungan manusia dengan penciptanya (ibadah), tetapi Islam juga mengatur dan menyelesikan permasalahan hubungan manusia dengan dirinya sendiri maupun dengan sesamanya (muamalah).
Metode
 Jenis penelitian yang digaunakan adalah jenis penelitian kulaitatif yaitu penelitian yang secara langsung terhadap objek yang di teliti. Metode yang dilakuan untuk membuat jurnal “PERATURAN HIDUP DALAM ISLAM” dengan cara melihat fakta saat ini, umat Islam seperti anak ayam yang kehilangan iduknya ataupun seperti buih di lautan.
Pendahuluan
        Islam adalah agama yang allah turunkan kepada Nabi Muhammad SAW, Mengatur segala perkara dalam kehidupan yaitu hubungannya dengan penciptanya maupun hubungan dengan sesame manusia lainnya. Hubungan manusia dengan sang penciptanya yaitu perkara akidah,dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya yaitu mencakup perkara akhlak dan pandangan hidupnya. Hubungan manusia dengan manusia lainnya yaitu dalam perkara muamalah dan uqubat. Dengan demikian islam merupakan pandangan hidup atau mabda (idiologi) yang mengatur dalam segala aspek kehidupan manusia. Bahkan islam tidak sama sekali berkaitan dengan kepastoran. Islam sanagat menjauhakan otokrasi/ teoraksi (kediktatoran perintah agama). Di dalam Islam tidak ada istilah sekelompok ahli agama juga tidak di jumpai ahli politik. Setiap orang yang memeluk agama Islam disebut sebagai kaum muslimin. dalam Islam tidak ada perbedaan golongan atau dalam Islam semua di pandang sama. Dalam Islam tidak di sebut kaum rohaniawan ataupun tenokrat.Ada pun dalam Islam yang di sebut kerohanian adalah bahwa segala sesuatu itu mahluk di hadapn penciptanya atau Khaliq-Nya, yang teratur mengikuti perintah Khaliq-Nya. Dalam tinjauan yang menendalam mengenai alam, manusia dan hdup, serta apa yang ada di sekitarnya bahwa manusia dapat membukitan kekurangan, kelemahan dan ketergantungan dirinya. . Ini dapat di indra dan disakikan atas segala sesuatu yang berkaitan dengannya yaitu alam semesta semesta, manusia dan hidup. Dengan di lakukan tinjauan bahwa ketiganya di sebut mahluk bagi Khaliq-Nya dan di ataur dengan peraturan yang telah di perintah sang penciptanya. Tentu saja tidak menggunakan aturan yang dibuat sesama manusianya tetapi menggunakan aturan yang telah pencptanya berikan atau smapaikan , karena manusia bersifat lemah dan tidak mampu mengetahui segala sesuatu, karena pemahaman manusia atau karena manusia bersifat lemah sangat memungkinkan bila manusia menggunakan peraturan yang di buat manusia akan terjadi perdebatan,perselisihan dan pertentangan.  Karena itu, peraturan tersebut harus berasal dari sang pencipta atau Allah SWT. Konsekonsinya, manusia harus menyesuaikan seluruh amal perbuatannya sengan peraturan yang bersumber dari Allah SWT. Namun apabila mengikuti peraturan ini berdasarkan hanya pada adanya manfaat di dalam peraturan, buakan berdasarkan pada kesadaran bahwa peraturan tersebut bersumber dari Allah, tentu tidak terdapat aspek kerohanian didalammnya. Baerdasarkan hal ini hendaknya seluruh amal perbuatan manusia di atur berdasarkan perintah dan larangan Allah, yang di landandasi oleh kesadaran manusia teradap hubungan dengan Allah SWT, sehingga akan terwujudnya ruh dan amal-amal perbuatannya. Dengan kata lain harus ada kesadaran akan hubungan dengan Allah. Dengan kesadarannya ini manusia akan nampak pada saat melakukan setiap amal perbuatannya. Arti ruh adalah kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah. Sedangkan yang dimaksud dengan menggabungkan ruh dengan materi adalah terujudnya kesadaran akan hubunganya dengan Allah, tatakala ia melakukan amal perbuatan. Dengan demikian manusia akan menyesuiakan setiap amal perbuatannya dengan perintah Allah dan larangan-Nya berdasarkan kesadarannya hungannya dengan Allah. Amal perbuatan bersifat materi, sedangkan akan hubungannya denagn Allah tatakala melakukan setiap perbuatan dinamakan ruh. Penggabungan atra amal perbuatan dan perintah Allah dan larangan-Nya yang didasarkan pada kesadaran hubungan dengan Allah, itulah yang dimaksud dengan menyatukan materi dan ruh. Atas dasar penjelasan ini maka kesesuaian amal perbuatan orang yang bukan muslim dengan hukum-hukum syari’at yang di gali dari Al-Qur’an dan sunah tidak di golongkan sebagai aktivitas yang di pengaruhi oleh ruh. Bahkan penggabungan materi dengan ruh tidak ada sama sekali dalam perbuatan itu , sebab ia tidak beriman kepada Islam. Denagan sendirinya dia tidak menyadarinya hubungannya dengan Allah. Ia hanya mengambil hukum-hukum syari’at itu sebagai peraturan yang di kaguminya. Yang mengatur amal perbuatannya. Beda hal dengan seorang muslim yang melakukan segala perbuatan sesuai dengan perintah dan laranga Allah SWT yang di bangun berlandaskan kesadaran hubunganya dengan Allah, dan tujuanya untuk mencari keridhoan Allah SWT, bukan sekedar mendapat manfaat dari peraturan atau hukum syari’at Islam. Karena itu, harus terdapat aspek rohaniah dalam segala sesuatu, dan harus ada ruh tatakala melakukan tatakala melakukan seluruh amal perbuatan. Setiap orang memahami denagn jelas bahwa arti aspek kerohanian adalah segala sesuatu itu merupakan makhluk bagi penciptanya. Ia adalah penghubung makhluk dengan penciptanya. Sedangkan ruh adalah kesadaran tentang hubungan ini, yaitu kesadran manusia akan hubunganya dengan Allah. Inilah yang dimaksud dengan aspek kerohanian dan ruh. Inilah satu-satunya persepsi (mafhum) yang benar. Diluar persepsi itu adalah salah. Tinjauan yang mendalam dan cemerlang mengenai alam, hidup, dan manusia, inilah yang telah menghantarkan kepada hasil pemikiran yang benar, serta telah menghasilkan persepsi yang benar. Sebagian agama memandang bahwa alam terdiri dari dua jenis, yang dapat diindera dan yang abstrak (ghaib). Manusia terdiri dari aspek kerohanian dan jasmani. Di dalam kehidupan terdapat unsur materi dan aspek rohani. Bahwa unsur materi itu berlawanan dengan perkara ghaib. Karena itu, aspek kerohanian tidak akan pernah bertemu dengan unsur materi. Keduanya terpisah. Di antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat prinsipil dilihat dari hakekatnya, dan tidak mungkin keduanya disatukan. Setiap usaha untuk memperkuat salah satu dari keduanya justru akan memperlemah salah satunya. Berdasarkan hal ini maka orang yang menghendaki kehidupan akhirat harus memperkuat aspek spiritualnya. Dari sini timbullah dalam agama Masehi dua kekuasaan, yaitu kekuasaan spiritual dan kekuasaan politik, yang terkenal dengan semboyan: ‘Berilah apa yang menjadi milik kaisar untuk kaisar, dan apa yang menjadi milik Allah untuk Allah’. Sementara itu, yang menguasai kekuasaan spiritual adalah para pastor dan gerejawan, yang selalu berusaha untuk mengambil alih kekuasaan politik agar berada di tangannya. Maksudnya agar mereka dapat memperkuat kekuasaan spiritual atas kekuasaan politik dalam kehidupan. Akibatnya muncul pertentangan antara kekuasaan spiritual dengan kekuasaaan politik. Pada akhirnya disepakati bahwa para gerejawan diberi hak otonom dalam kekuasaan spiritual dan tidak boleh mencampuri kekuasaan politik. Agama telah dipisahkan dari kehidupan, karena bersifat teokratis/ritual belaka. Pemisahan antara agama dan kehidupan inilah yang menjadi akidah bagi mabda kapitalis, sekaligus menjadi asas peradaban Barat. Ini pulalah yang menjadi qiyadah fikriyah (kepemimpinan berpikir) yang dipropagandakan imperialis Barat ke seluruh dunia, dan selalu mereka propagandakan serta dijadikan tonggak kebudayaannya. Dengan asas itu mereka berusaha menggoncang akidah kaum muslimin terhadap Islam. Mereka menyamakan Islam dengan agama masehi (Nashrani), dengan analogi menyeluruh. Dengan demikian siapa saja yang mempropagandakan “pemisahan agama dari kehidupan” atau “pemisahan agama dari negara dan politik” tidak lain –mereka- hanyalah pembebek yang dipengaruhi dan disetir oleh qiyadah fikriyah Barat, menjadi kaki tangan para penjajah -tanpa dilihat lagi apakah berniat baik atau buruk-. Orang semacam ini bisa dikatakan bodoh, tidak mengerti Islam, atau bahkan musuh yang menentang Islam. Islam mengaggap bahwa segala sesuatu yang dicerap oleh indera adalah hal-hal yang berbentuk materi. Sedangkan aspek kerohaniannya adalah keberadaannya sebagai makhluk. Dan ruh adalah kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah. Tidak ada sesuatu yang terpisah antara aspek ruhiyah dengan materi. Tidak ada dalam diri manusia mengintensifkan rohani dan menggelandangkan jasmani. Yang ada pada diri manusia adalah kebutuhan jasmani dan naluri yang harus dipenuhi. Diantara naluri-naluri itu terdapat naluri beragama, yaitu kebutuhan terhadap Sang Pencipta dan Pengatur, yang muncul dari kelemahan manusia secara alami dalam proses kejadiannya. Pemenuhan naluri-naluri itu tidak disebut sebagai aspek kerohanian ataupun aspek materi, melainkan hanya sekedar penyaluran saja. Namun demikian, apabila kebutuhan jasmani dan naluri itu disalurkan menurut aturan-aturan Allah disertai kesadaran akan hubungannya dengan Allah, berarti dia telah sejalan dengan ruh. Tetapi jika kebutuhan jasmani dan naluri dipenuhi tanpa aturan, atau dengan peraturan yang bukan berasal dari Allah SWT, maka hal itu hanya merupakan pemenuhan materi/jasmani semata, yang mengakibatkan kenestapaan manusia. Naluri melestarikan jenis, misalnya, apabila dipenuhi tanpa aturan atau dengan peraturan yang bukan berasal dari Allah SWT, hal ini akan menyebabkan kesengsaraan manusia. Sebaliknya, apabila terpenuhi dengan tata-aturan perkawinan yang berasal dari Allah SWT, sesuai dengan hukum-hukum Islam, maka perkawinan itu akan menghasilkan ketenteraman. Contoh lain adalah naluri beragama. Apabila dipenuhi tanpa aturan atau dengan peraturan yang bukan berasal dari Allah SWT, misalnya dengan menyembah patung atau menyembah sesama manusia, maka hal ini termasuk perbuatan syirik dan kufur. Sebaliknya, apabila dipenuhi dengan hukum-hukum Islam, maka pemenuhan tersebut merupakan ibadah. Adalah suatu keharusan untuk selalu memelihara aspek kerohanian dalam segala perkara, dan selalu menyesuaikan seluruh amal perbuatan dengan perintah dan larangan Allah, dengan dilandasi atas kesadaran akan hubungannya dengan Allah. Dengan kata lain, hendaknya sesuai dengan ruh. Jadi, dalam satu amal perbuatan tidak ada dua unsur (spiritual dan materi). Yang ada hanya satu macam saja, yaitu amal perbuatan itu sendiri. Adapun sifatnya, apakah termasuk materi belaka ataukah berjalan sesuai dengan ruh, hal ini bukan berasal dari amal perbuatan, melainkan berasal dari apakah amal perbuatan berjalan sesuai dengan hukumhukum Islam atau tidak. Seorang muslim yang membunuh musuhnya di medan perang, perbuatannya itu termasuk jihad. Ia memperoleh pahala karena telah berbuat sesuai dengan hukum-hukum Islam. Sedangkan seorang muslim yang membunuh jiwa yang suci (baik muslim maupun non muslim) tanpa alasan -yang dibenarkan syariat Islam-, perbuatannya itu termasuk tindakan kriminal. Ia memperoleh sanksi karena telah berbuat sesuatu yang berlawanan dengan perintah dan larangan Allah. Dua tindakan ini sebenarnya satu macam, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh seorang manusia. Pembunuhan bisa menjadi ibadah tatkala dilakukan berdasarkan ruh, dan bisa menjadi kejahatan apabila dilakukan tidak sesuai dengan ruh. Karena itu, sudah selayaknya seorang muslim menyertakan ruh pada setiap amal perbuatannya. Jadi, penggabungan antara ruh dengan materi bukan saja perkara yang dianggap mungkin terjadi, tetapi memang harus dilakukan. Artinya, tidak boleh memisahkan materi dengan ruh. Tidak boleh memisahkan setiap perbuatan dengan keterikatannya terhadap perintah dan larangan Allah SWT, yang dilandasi kesadaran akan hubungannya dengan Allah. Dengan demikian, setiap usaha pemisahan antara aspek kerohanian dengan materi harus dihindari. Sebab, di dalam Islam tidak ada profesi keagamaan. Tidak ada kekuasaan agama dalam arti teokrasi. Juga tidak ada kekuasaan politik yang terpisah dari agama. Islam adalah agama dimana negara menjadi salah satu bagian dari agama. Hal ini ditunjukkan oleh berbagai hukum, yang kedudukannya sama dengan hukum-hukum tentang shalat. Negara merupakan satu-satunya metode untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan menyebarluaskan dakwahnya. Setiap usaha yang akan menyudutkan agama dengan arti ritual belaka dan menyingkirkannya dari arena politik dan pemerintahan, harus disingkirkan. Yayasan-yayasan yang mengelola aktivitas kerohanian hendaknya ditiadakan. Badan pemerintah yang mengurus masjid dihapus, lalu pengaturannya dialihkan kepada Departemen Pendidikan. Demikian pula mahkamah-mahkamah syariat dan sipil dirombak, dan dijadikan peradilan tunggal, yang hanya menerapkan hukum Islam. Sebab, kekuasaan Islam itu adalah kekuasaan tunggal. Islam adalah akidah dan peraturan (syariat). Akidah Islam adalah beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, serta Qadla dan Qadar -bahwa baik buruknya dari Allah SWT-. Islam membangun akidah berdasarkan pembuktian akal dalam hal-hal yang dapat dijangkau oleh akal. Seperti iman kepada wujud (keberadaan) Allah, kenabian Muhammad SAW, dan terhadap (mukjizat) Al-Quran Al-Karim. Dan Islam membangun hal-hal yang ghaib, yaitu perkara yang akal tidak mungkin mampu menjangkaunya. Seperti Hari Kiamat, keberadaan malaikat, Surga dan Neraka, yang didasarkan pada pengakuan dan penyerahan total, yang bersumber dari sesuatu yang telah terbukti kebenarannya melalui akal, yaitu Al-Quran Al-Karim dan Hadits mutawatir. Disamping itu Islam telah menjadikan akal sebagai obyek hukum (taklif). Adapun yang dimaksud dengan peraturan Islam, adalah hukum-hukum syariat yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Peraturan Islam mencakup seluruh aspek kehidupan. Hanya saja dalam bentuk-bentuk yang umum (garis besar), dan dengan makna-makna (petunjuk) yang umum pula. Sedangkan rinciannya dapat digali dari berbagai makna-makna umum tadi tatkala menerapkan hukum-hukum tersebut. Didalam Al-Quran dan Hadits Syarif telah terhimpun garis-garis besar, yaitu mencakup berbagai keterangan umum untuk memecahkan berbagai urusan manusia secara universal. Para mujtahid diberikan kebebasan untuk menggali keterangan-keterangan umum tersebut menjadi hukum-hukum yang terperinci, tentang berbagai macam problematika yang muncul sepanjang masa dan di berbagai tempat yang berbeda. Islam hanya memiliki satu metoda (thariqah) dalam memecahkan berbagai macam problematika, yaitu dengan cara mendorong seorang mujtahid untuk mempelajari persoalan-persoalan yang baru, sehingga benar-benar memahaminya. Kemudian mempelajari nash-nash syara’ yang berkaitan dengan persoalan tersebut. Dan pada akhirnya mengambil kesimpulan hukum untuk memecahkan persoalan itu berdasarkan nash-nash syara’. Dengan kata lain seorang mujtahid menggali hukum syara’ tentang persoalan tersebut dari dalil-dalil syar’i. Secara mutlak ia tidak menempuh jalan yang lain. Namun demikian tatkala ia mempelajari persoalan tersebut, ia harus mempelajarinya sebagai salah satu persoalan manusia secara universal dan tidak menganggapnya sebagai persoalan ekonomi, sosial, atau pemerintahan saja, atau yang lainnya. Hal itu dilihatnya sebagai persoalan yang memerlukan ketentuan hukum syara sehingga dapat diketahui hukum Allah yang berkaitan dengannya.

JALAN MENUJU IMAN
            Bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya. Agar manusia mampu bangkit harus ada perubahan mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia dewasa ini, untuk kemudian diganti dengan pemikiran lain. Sebab, pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat mafahim (persepsi) terhadap segala sesuatu. Disamping itu, manusia selalu mengatur tingkah lakunya dalam kehidupan ini sesuai dengan mafahim-nya terhadap kehidupan. Sebagai contoh, mafahim seseorang terhadap orang yang dicintainya akan membentuk perilaku yang berlawanan dari orang tersebut terhadap orang lain yang dibencinya, karena ia memiliki mafahim kebencian terhadapnya. Begitu juga akan berbeda terhadap orang yang sama sekali tidak dikenalnya, karena ia tidak memiliki mafhum apapun terhadap orang tersebut. Jadi, tingkah laku manusia selalu berkaitan erat dengan mafahim yang dimilikinya. Dengan demikian, apabila kita hendak mengubah tingkah laku manusia yang rendah menjadi luhur, maka tidak ada jalan lain kecuali harus mengubah mafhum-nya terlebih dahulu. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman :
 “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka” (TQS. Ar-Ra’d [13]: 11).
Satu-satunya jalan untuk mengubah mafahim seseorang adalah dengan mewujudkan suatu pemikiran tentang kehidupan dunia sehingga dapat terwujud mafahim yang benar tentang kehidupan tersebut. Namun, pemikiran seperti ini tidak akan melekat erat dan memberikan hasil yang berarti, kecuali apabila terbentuk dalam dirinya pemikiran tentang alam semesta, manusia, dan hidup; tentang Zat yang ada sebelum kehidupan dunia dan apa yang ada sesudahnya; disamping juga keterkaitan kehidupan dunia dengan Zat yang ada sebelumnya dan apa yang ada sesudahnya. Semua itu dapat dicapai dengan memberikan kepada manusia pemikiran menyeluruh dan sempurna tentang apa yang ada di balik ketiga unsur utama tadi. Sebab, pemikiran menyeluruh dan sempurna semacam ini merupakan landasan berpikir (al-qa’idah al-fikriyah) yang melahirkan seluruh pemikiran cabang tentang kehidupan dunia. Memberikan pemikiran menyeluruh mengenai ketiga unsur tadi, merupakan solusi fundamental pada diri manusia. Apabila solusi fundamental ini teruraikan, maka terurailah berbagai masalah lainnya. Sebab, seluruh problematika kehidupan pada dasarnya merupakan cabang dari problematika pokok tadi. Namun demikian, pemecahan itu tidak akan mengantarkan kita pada kebangkitan yang benar, kecuali jika pemecahan itu sendiri adalah benar, yaitu sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal, dan memberikan ketenangan hati. Pemecahan yang benar tidak akan dapat ditempuh kecuali dengan al-fikru al-mustanir (pemikiran cemerlang) tentang alam semesta, manusia, dan hidup. Karena itu, bagi mereka yang menghendaki kebangkitan dan menginginkan kehidupannya berada pada jalan yang mulia, mau tidak mau lebih dahulu mereka harus memecahkan problematika pokok tersebut dengan benar, melalui berpikir secara cemerlang tadi. Pemecahan inilah yang menghasilkan akidah, dan menjadi landasan berpikir yang melahirkan setiap pemikiran cabang tentang perilaku manusia di dunia ini serta peraturanperaturannya. Islam telah menuntaskan problematika pokok ini dan dipecahkan untuk manusia dengan cara yang sesuai dengan fitrahnya, memuaskan akal, serta memberikan ketenangan jiwa. Ditetapkannya pula bahwa untuk memeluk agama Islam, tergantung sepenuhnya kepada pengakuan terhadap pemecahan ini, yaitu pengakuan yang betul-betul muncul dari akal. Karena itu, Islam dibangun di atas satu dasar, yaitu akidah. Akidah menjelaskan bahwa di balik alam semesta, manusia, dan hidup, terdapat Pencipta (Al-Khaliq) yang telah meciptakan ketiganya, serta yang telah meciptakan segala sesuatu lainnya. Dialah Allah SWT. Bahwasanya Pencipta telah menciptakan segala sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Ia bersifat wajibul wujud, wajib adanya. Sebab, kalau tidak demikian, berarti Ia tidak mampu menjadi Khaliq. Ia bukanlah makhluk, karena sifat-Nya sebagai Pencipta memastikan bahwa diri-Nya bukan makhluk. sementara Ia tidak bersandar kepada apapun. Bukti bahwa segala sesuatu mengharuskan adanya Pencipta yang menciptakannya, dapat diterangkan sebagai berikut: bahwa segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan hidup. Ketiga unsur ini bersifat terbatas, lemah, serba kurang, dan saling membutuhkan kepada yang lain. Misalnya manusia. Manusia terbatas sifatnya, karena ia tumbuh dan berkembang sampai pada batas tertentu yang tidak dapat dilampuinya lagi. Ini menunjukkan bahwa manusia bersifat terbatas. Begitu pula halnya dengan hidup, bersifat terbatas, karena penampakannya bersifat individual. Apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahwa hidup ini berakhir pada satu individu saja. Jadi, hidup juga bersifat terbatas. Sama halnya dengan alam semesta yang memiliki sifat terbatas. Alam semesta merupakan himpunan dari benda-benda angkasa, yang setiap bendanya memiliki keterbatasan. Himpunan segala sesuatu yang terbatas, tentu terbatas pula sifatnya. Jadi, alam semesta pun bersifat terbatas. Walhasil, manusia, hidup, dan alam semesta, ketiganya bersifat terbatas. Apabila kita melihat kepada segala sesuatu yang bersifat terbatas, akan kita simpulkan bahwa semuanya tidak azali. Jika bersifat azali (tidak berawal dan tidak berakhir), tentu tidak mempunyai keterbatasan. Dengan demikian segala yang terbatas pasti diciptakan oleh “sesuatu yang lain”. “Sesuatu yang lain” inilah yang disebut Al-Khaliq. Dialah yang menciptakan manusia, hidup, dan alam semesta. Dalam menentukan keberadaan Pencipta ini akan kita dapati tiga kemungkinan. Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain. Kedua, Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Ketiga, Ia bersifat azali dan wajibul wujud. Kemungkinan pertama bahwa Ia diciptakan oleh yang lain adalah kemungkinan yang bathil, tidak dapat diterima oleh akal. Sebab, bila benar demikian, tentu Ia bersifat terbatas. Begitu pula dengan kemungkinan kedua, yang menyatakan bahwa Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Jika demikian berarti Dia sebagai makhluk dan Khaliq pada saat yang bersamaan. Hal yang jelas-jelas tidak dapat diterima. Karena itu, Al-Khaliq harus bersifat azali dan wajibul wujud. Dialah Allah SWT. Siapa saja yang mempunyai akal akan mampu membuktikan —hanya dengan adanya benda-benda yang dapat diinderanya— bahwa di balik benda-benda itu pasti terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Fakta menunjukkan bahwa semua benda itu bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling membutuhkan. Hal ini menggambarkan segala sesuatu yang ada hanyalah makhluk. Jadi untuk membuktikan adanya Al-Khaliq Yang Maha Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengarahkan perhatian manusia terhadap benda-benda yang ada di alam semesta, fenomena hidup, dan diri manusia sendiri. Dengan mengamati salah satu planet yang ada di alam semesta, atau dengan merenungi fenomena hidup, atau meneliti salah satu bagian dari diri manusia, akan kita dapati bukti nyata dan meyakinkan akan adanya Allah SWT. Karena itu, dalam Al-Quran terdapat ajakan untuk mengalihkan perhatian manusia terhadap benda-benda yang ada, seraya mengajaknya turut mengamati dan memfokuskan perhatian terhadap benda-benda tersebut dan segala sesuatu yang ada di sekelilingnya, atau yang berhubungan dengannya, agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Dengan mengamati benda-benda tersebut, bagaimana satu dengan yang lain saling membutuhkan, akan memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan dan pasti, akan adanya Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur. Al-Quran telah membeberkan ratusan ayat berkenaan dengan hal ini, antara lain firman-firman Allah SWT:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 190).
            Dengan demikian setiap Muslim wajib menjadikan imannya betul-betul muncul dari proses berfikir, selalu meneliti dan memperhatikan serta senantiasa bertahkim (merujuk) kepada akalnya secara mutlak dalam beriman kepada (adanya) Allah SWT. Ajakan untuk memperhatikan alam semesta dengan seksama, dalam rangka mencari sunatullah serta untuk memperoleh petunjuk agar beriman terhadap Penciptanya, telah disebut ratusan kali oleh AlQuran dalam berbagai surat yang berbeda. Semuanya ditujukan kepada potensi akal manusia untuk diajak berfikir dan merenung, sehingga imannya betul-betul muncul dari akal dan bukti yang nyata. Disamping untuk memperingatkannya agar tidak mengambil jalan yang telah ditempuh oleh nenek moyangnya, tanpa meneliti dan menguji kembali sejauh mana kebenarannya. Inilah iman yang diserukan oleh Islam. Iman semacam ini bukanlah seperti yang dikatakan orang sebagai imannya orang-orang lemah, melainkan iman yang berpijak pada pemikiran yang cemerlang dan meyakinkan, yang senantiasa mengamati (alam sekitarnya), berpikir dan berpikir. Melalui pengamatan dan perenungannya akan sampai kepada keyakinan tentang adanya Allah Yang Maha Kuasa. Kendati wajib atas manusia menggunakan akalnya dalam mencapai iman kepada Allah SWT, namun tidak mungkin ia menjangkau apa yang ada di luar batas kemampuan indera dan akalnya. Sebab akal manusia terbatas. Terbatas pula kekuatannya sekalipun meningkat dan bertambah sampai batas yang tidak dapat dilampauinya; terbatas pula jangkauannya. Melihat kenyataan ini, maka perlu diingat bahwa akal tidak mampu memahami Zat Allah dan hakekat-Nya. Sebab, Allah SWT berada di luar ketiga unsur pokok (alam semesta, manusia, dan hidup) tadi. Sedangkan akal manusia tidak mampu memahami apa yang ada di luar jangkauannya. Ia tidak akan mampu memahami Zat Allah. Tetapi bukan berarti dapat dikatakan “Bagaimana mungkin orang dapat beriman kepada Allah SWT, sedang akalnya sendiri tidak mampu memahami Zat Allah?” Tentu, kita tidak mengatakan demikian, karena pada hakekatnya iman itu adalah percaya terhadap wujud Allah SWT. Sedangkan wujud-Nya dapat diketahui melalui makhluk-makhluk-Nya, yaitu alam semesta, manusia, dan hidup. Tiga unsur ini berada dalam batas jangkauan akal manusia. Dengan memahami ketiga hal ini, orang dapat memahami adanya Pencipta, yaitu Allah SWT. Karena itu, iman terhadap adanya Allah dapat dicapai melalui akal, dan berada dalam jangkauan akal. Usaha manusia untuk memahami hakekat Zat Allah SWT merupakan perkara yang mustahil untuk dicapai. Sebab, Zat Allah berada di luar unsur alam semesta, manusia, dan hidup. Dengan kata lain berada di luar jangkauan kemampuan akal. Akal tidak mungkin memahami hakekat yang ada di luar batas kemampuannya, karena perannya amat terbatas. Seharusnya keterbatasannya itu justru menjadi faktor penguat iman, bukan sebaliknya malah menjadi penyebab keragu-raguan dan kebimbangan. Apabila iman kita kepada Allah SWT telah dicapai melalui proses berfikir, maka kesadaran kita terhadap adanya Allah menjadi sempurna. Begitu pula jika perasaan hati kita (yang timbul dari wijdan, pent.) mengisyaratkan adanya Allah, lalu dikaitkan dengan akal, tentu perasaan tersebut akan mencapai suatu tingkat yang meyakinkan. Bahkan hal itu akan memberikan suatu pemahaman yang sempurna serta perasaan yang meyakinkan terhadap sifat-sifat ketuhanan. Dengan sendirinya, cara tersebut akan meyakinkan kita bahwa manusia tidak sanggup memahami hakekat Zat Allah. Sebaliknya hal ini justru akan memperkuat iman kita kepada-Nya. Disamping keyakinan seperti ini, kita wajib berserah diri terhadap semua yang dikhabarkan Allah SWT tentang hal-hal yang yang tidak sanggup dicerna atau yang tidak dapat dicapai oleh akal. Ini disebabkan lemahnya akal manusia yang memiliki ukuran-ukuran nisbi yang serba terbatas kemampuannya, untuk memahami apa yang ada di luar jangkauan akalnya. Padahal untuk memahami hal semacam ini, diperlukan ukuran-ukuran yang tidak nisbi dan tidak terbatas, yang justru tidak dimiliki dan tidak akan pernah dimiliki manusia. Adapun bukti kebutuhan manusia terhadap para Rasul, dapat kita lihat dari fakta bahwa manusia adalah makhluk Allah SWT. Dan beragama adalah sesuatu yang fitri pada diri manusia, karena termasuk salah satu naluri yang ada pada manusia. Dalam fitrahnya, manusia senantiasa mensucikan Penciptanya. Aktivitas inilah yang dinamakan ibadah, yang berfungsi sebagai tali penghubung antara manusia dengan Penciptanya. Apabila hubungan ini dibiarkan begitu saja tanpa aturan, tentu akan menimbulkan kekacauan ibadah. Bahkan dapat menyebabkan terjadinya penyembahan kepada selain Pencipta. Jadi, harus ada aturan tertentu yang mengatur hubungan ini dengan peraturan yang benar. Hanya saja, aturan ini tidak boleh datang dari manusia. Sebab, manusia tidak mampu memahami hakekat Al-Khaliq sehingga dapat meletakkan aturan antara dirinya dengan Pencipta. Maka, aturan ini harus datang dari Al-Khaliq. Karena aturan ini harus sampai ke tangan manusia, maka tidak boleh tidak harus ada para Rasul yang menyampaikan agama Allah ini kepada umat manusia. Bukti lain kebutuhan manusia terhadap para Rasul adalah bahwa pemuasan manusia terhadap tuntutan gharizah (naluri) serta kebutuhan-kebutuhan jasmani, adalah keharusan yang sangat diperlukan. Pemuasan semacam ini jika dibiarkan berjalan tanpa aturan akan menjurus ke arah pemuasan yang salah dan menyimpang, yang pada gilirannya akan menyebabkan kesengsaraan umat manusia. Dengan demikian, harus ada aturan yang mengatur setiap naluri dan kebutuhan jasmani ini. Hanya saja, aturan ini tidak boleh datang dari pihak manusia. Sebab, pemahaman manusia dalam mengatur naluri dan kebutuhan jasmani selalu berpeluang terjadi perbedaan, perselisihan, pertentangan, dan terpengaruh lingkungan tempat tinggalnya. Apabila manusia dibiarkan membuat aturan sendiri, tentu aturan tersebut akan memungkinkan terjadinya perbedaan, perselisihan, dan pertentangan, yang justru akan menjerumuskannya ke dalam kesengsaraan. Maka aturan tersebut harus datang dari Allah SWT melalui para Rasul. Mengenai bukti bahwa Al-Quran itu datang dari Allah, dapat dilihat dari kenyataan bahwa Al-Quran adalah sebuah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. Dalam menentukan darimana asal AlQuran, akan kita dapatkan tiga kemungkinan. Pertama, kitab itu adalah karangan orang Arab. Kedua, karangan Muhammad SAW. Ketiga, berasal dari Allah SWT. Tidak ada lagi kemungkinan selain dari yang tiga ini. Sebab, Al-Quran adalah berciri khas Arab, baik dari segi bahasa maupun gayanya. Kemungkinan pertama yang mengatakan bahwa AlQuran adalah karangan orang Arab, tidak dapat diterima. Sebab, Al-Quran sendiri telah menantang mereka untuk membuat karya yang serupa. Sebagaimana tertera dalam ayat:
“Katakanlah: ‘Maka datangkanlah sepuluh surat yang (dapat) menyamainya” (TQS. Hud [11]: 13).
            Orang-orang Arab telah berusaha keras mencobanya, akan tetapi tidak berhasil. Hal ini membuktikan bahwa Al-Quran bukan berasal dari perkataan mereka. Mereka tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, kendati ada tantangan dari Al-Quran dan mereka telah berusaha menjawab tantangan itu. Kemungkinan kedua yang mengatakan bahwa Al-Quran itu karangan Muhammad SAW, juga tidak dapat diterima oleh akal. Sebab, Muhammad SAW adalah orang Arab juga. Bagaimanapun jeniusnya, tetap ia sebagai seorang manusia yang menjadi salah satu anggota dari masyarakat atau bangsanya. Selama seluruh bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, maka masuk akal pula apabila Muhammad —yang juga termasuk salah seorang dari bangsa arab— tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Karena itu, jelas bahwa Al-Quran itu bukan karangannya. Terlebih lagi dengan adanya banyak hadits-hadits shahih yang berasal dari Nabi Muhammad SAW -yang sebagian malah diriwayatkan lewat cara yang tawatur- yang kebenarannya tidak diragukan lagi. Apabila setiap hadits ini dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al-Quran, maka tidak akan dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasanya. Padahal Nabi Muhammad SAW, disamping selalu membacakan setiap ayat-ayat yang diterimanya, dalam waktu yang bersamaan juga mengeluarkan hadits. Namun ternyata keduanya tetap berbeda dari segi gaya bahasanya. Bagaimanapun kerasnya usaha seseorang untuk menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap saja akan terdapat kemiripan antara gaya yang satu dengan yang lain, karena merupakan bagian dari ciri khasnya dalam berbicara. Karena tidak ada kemiripan antara gaya bahasa Al-Quran dengan gaya bahasa hadits, berarti Al-Quran itu bukan perkataan Nabi Muhammad SAW. Masing-masing dari keduanya terdapat perbedaan yang tegas dan jelas. Itulah sebabnya tidak seorang pun dari bangsa Arab —orang-orang yang paling tahu gaya dan sastra bahasa arab— pernah menuduh bahwa Al-Quran itu perkataan Muhammad SAW, atau mirip dengan gaya bicaranya. Satu-satunya tuduhan yang mereka lontarkan adalah bahwa Al-Quran itu disadur Muhammad SAW dari seorang pemuda Nasrani yang bernama Jabr. Tuduhan ini telah ditolak keras oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
“(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui mereka berkata: ‘Bahwasanya Al-Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa ‘ajami (non-Arab), sedangkan Al-Quran itu dalam bahasa arab yang jelas” (TQS. An-Nahl [16]: 103).
Apabila telah terbukti bahwa Al-Quran itu bukan karangan bangsa Arab, bukan pula karangan Muhammad SAW, berarti Al-Quran itu adalah kalamullah, yang menjadi mukjizat bagi orang yang membawanya. Dan karena Nabi Muhammad SAW adalah orang yang membawa Al-Quran —yang merupakan kalamullah dan syariat Allah, serta tidak ada yang membawa syariat-Nya melainkan para Nabi dan Rasul— maka berdasarkan dalil aqli dapat diyakini secara pasti bahwa Muhammad SAW itu adalah seorang Nabi dan Rasul. Inilah dalil aqli tentang iman kepada Allah, kerasulan Muhammad SAW, dan bahwa Al-Quran itu merupakan kalamullah. Jadi, iman kepada Allah itu dapat dicapai melalui akal, dan memang harus demikian. Iman kepada Allah akan menjadi dasar kuat bagi kita untuk beriman terhadap perkara-perkara ghaib dan segala hal yang dikabarkan Allah SWT. Jika kita telah beriman kepada Allah SWT yang memiliki sifat-sifat ketuhanan, maka wajib pula bagi kita untuk beriman terhadap apa saja yang dikabarkan oleh-Nya. Baik hal itu dapat dijangkau oleh akal maupun tidak, karena semuanya dikabarkan oleh Allah SWT. Dari sini kita wajib beriman kepada Hari Kebangkitan dan Pengumpulan di Padang Mahsyar, Surga dan Neraka, hisab dan siksa. Juga beriman terhadap adanya malaikat, jin, dan syaitan, serta apa saja yang telah diterangkan Al-Quran dan hadits yang qath’i. Iman seperti ini, walaupun diperoleh dengan jalan ‘mengutip’ (naql) dan ‘mendengar’ (sama’), akan tetapi pada hakekatnya merupakan iman yang aqli juga. Sebab, dasarnya telah dibuktikan oleh akal. Jadi, akidah seorang Muslim itu harus bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti dasar kebenarannya oleh akal. Seorang Muslim wajib meyakini segala sesuatu yang telah terbukti dengan akal atau yang datang dari sumber berita yang yakin dan pasti (qath’i), yaitu apapun yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan hadits qath’i -yaitu hadits mutawatir-. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash Al-Quran dan hadits mutawatir, haram baginya untuk mengimani. Akidah tidak boleh diambil kecuali dengan jalan yang pasti. Berdasarkan penjelasan ini, maka kita wajib beriman kepada apa yang ada sebelum kehidupan dunia, yaitu Allah SWT; dan kepada kehidupan setelah dunia, yaitu Hari Akhirat. Bila sudah diketahui bahwa perintah-perintah Allah merupakan hubungan antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelumnya, terkait dengan hubungan penciptaan; sedangkan perhitungan amal manusia atas apa yang dikerjakannya di dunia merupakan keterkaitan dengan kehidupan setelah dunia, maka kehidupan dunia ini harus dihubungkan dengan apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya. Manusia harus terikat dengan hubungan tersebut. Karena itu, manusia wajib berjalan dalam kehidupan ini sesuai dengan peraturan Allah, dan wajib meyakini bahwa ia akan di-hisab di hari kiamat nanti atas seluruh perbuatan yang dilakukannya di dunia. Dengan demikian terbentuklah al-fikru al-mustanir tentang apa yang ada di balik alam semesta, hidup, dan manusia. Telah terbentuk pula al-fikru al-mustanir tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya. Bahwasannya kehidupan tersebut memiliki hubungan antara apa yang ada sebelum dan sesudahnya. Dengan demikian, terurailah problematika pokok secara sempurna dengan akidah Islamiyah. Apabila manusia berhasil memecahkan perkara ini, maka ia dapat beralih memikirkan kehidupan dunia serta mewujudkan mafahim yang benar dan produktif tentang kehidupan ini. Pemecahan inilah yang menjadi dasar bagi berdirinya suatu mabda (ideologi) yang dijadikan sebagai jalan menuju kebangkitan. Pemecahan itu pula yang menjadi dasar bagi berdirinya hadlarah yaitu suatu peradaban yang bertitik tolak dari mabda tadi. Disamping menjadi dasar yang melahirkan peraturan-peraturan dan dasar berdirinya Negara Islam. Dengan demikian, dasar bagi berdirinya Islam —baik secara fikrah (ide dasar) maupun thariqah (metoda pelaksanaan bagi fikrah)— adalah akidah Islam.
HUKUM  SYARA’
                Hukum Syara’ adalah khithab Syari’ (seruan Allah sebagai pembuat hukum) yang berkaitan dengan amal perbuatan hamba (manusia), baik itu berupa ketetapan yang sumbernya pasti (qath’i tsubut) seperti Al-Quran dan Hadits mutawatir, maupun ketetapan yang sumbernya masih dugaan kuat (zhanni tsubut) seperti hadits yang bukan tergolong mutawatir. Apabila sumber ketetapannya pasti, maka perlu dicermati; yaitu jika penunjukan dalilnya bersifat pasti (qath’iud dilalah), maka hukum yang dikandungnya juga bersifat pasti. Misalnya jumlah rakaat shalat fardlu yang kesemuanya bersumber dari hadits mutawatir. Begitu juga dengan hukum haramnya riba, potong tangan bagi pencuri, atau hukum jilid bagi pezina. Semua itu merupakan hukum-hukum yang penunjukkannya bersifat pasti dan nilai kebenaran di dalamnya merupakan suatu ketetapan. Tidak ada tafsiran lain yang ditunjukkannya kecuali hanya satu ketetapan pasti. Akan tetapi jika seruan Syari’ itu sumber ketetapannya bersifat pasti sedangkan penunjukan dalilnya bersifat zhanni, maka hukum yang terkandung di dalamnya adalah zhanni. Misalnya ayat tentang jizyah, -uang yang dipungut negara dari orang kafir dzimmi yang menolak masuk Islam, tetapi bersedia hidup dalam masyarakat Islam-. Dilihat dari sumber ketetapannya bersifat qath’i, tetapi bila ditinjau dari perincianperincian hukumnya, maka penunjukan dalilnya adalah zhanni. Mazhab Hanafi misalnya mensyaratkan penggunaan istilah jizyah; sehingga ketika memberikannya harus tampak jelas kehinaan bagi pembayarnya. Sedangkan Mazhab Syafi’i tidak mensyaratkan hal ini, bahkan membenarkan mengambilnya dengan sebutan zakat mudla’afah, -zakat berlipat ganda-, tidak perlu menampakkan kehinaan, melainkan cukup tunduk saja terhadap hukum-hukum Islam. Adapun seruan Syari’ yang ketetapannya bersifat zhanni tsubut seperti hadits yang bukan mutawatir, maka hukum yang terkandung di dalamnya menjadi zhanni pula, baik itu berupa dilalah-nya yang qath’i, seperti puasa enam hari pada Bulan Syawal yang ditetapkan oleh sunah, maupun yang dilalah-nya zhanni, seperti larangan menyewakan lahan pertanian yang ditetapkan oleh sunah.


MACAM-MACAM HUKUM SYARIAT ISLAM
            Hukum Syari’at Islam terdiri dari lima macam, yaitu fardlu, haram, mandub, makruh, dan mubah. Hukum syariat Islam bisa berbentuk tuntutan untuk melakukan sesuatu atau tuntutan untuk meninggalkannya. Jika seruan itu berbentuk tuntutan untuk untuk melakukan sesuatu, maka seruan itu dibagi ke dalam dua macam. Pertama, yang berkaitan dengan tuntutan yang harus dikerjakan, yang dinamakan fardlu atau wajib. Tidak ada perbedaan antara dua istilah tersebut. Kedua, yang berkaitan dengan tuntutan yang tidak harus dikerjakan, yaitu apa yang dinamakan mandub. Jika hukum syara’ berkaitan dengan tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, maka seruan itu juga dibagi dua macam. Pertama, yang berkaitan dengan tuntutan yang harus ditinggalkan, yang dinamakan haram atau mahdlur. Tidak ada perbedaan antara kedua istilah tersebut. Kedua, jika berkaitan dengan tuntutan yang tidak mengharuskan meninggalkannya. Inilah yang dinamakan makruh. Karena itu, fardlu atau wajib adalah seluruh perbuatan yang mendapatkan pujian bagi pelakunya, dan celaan bagi yang meninggalkannya. Atau, bagi orang yang meninggalkannya akan memperoleh sanksi/siksaan. Sedangkan haram adalah perbuatan yang mendapatkan celaan bagi pelakunya, dan pujian bagi yang meninggalkannya. Dengan kata lain, orang yang melakukannya akan memperoleh sanksi/siksaan. Adapun mandub adalah pujian bagi pelakunya, tetapi tidak mendapatkan celaan bagi yang meninggalkannya. Sedangkan makruh adalah pujian bagi yang meninggalkannya, atau meninggalkannya lebih utama dari pada melakukannya. Mubah, adalah apa yang dituju oleh dalil sam’i (wahyu) terhadap seruan Syari’ yang di dalamnya terdapat pilihan, antara melakukan atau meninggalkannya.     


Komentar

Postingan populer dari blog ini

EVOLUSI PADA TUMBUHAN

GURU SEBAGAI PENDIDIK PROFESIONAL