JURNAL PERATURAN KEHIDUPAN DALAM ISLAM
PERATURAN HIDUP DALAM ISLAM
NAMA : Ade Wildan
Khairana Sudirman
Nim : 1708106078
Kelas : Tadris IPA
Biologi C / 1
IAIN Syekh Nurjati
Cirebon
Abstrak
Islam merupakan
agama yang sempurna yang mengatur hubungan manusia dan penciptanya , dengan
dirinyan dan dengan manusia sesamanya. Saat ini Islam hanya dijadiakn sebagai
agama spiritual saja padahal islam mengatur segala aspek kehidupan, dari mulai
bangun sampai tidur kembali. Islam juga mengatur ekonomi , sistem negara dan
juga hukum-hukumnya.
Pendahuluan
Kini islam hanya
di jadikan agama spiritual saja dan hanya digunkan saat beribadah saja, Islam
hanya di pandang sebagai agama rohani tanpa di jadikan mabda atau pandangan
hidup oleh kaum muslimin di seluruh dunia.karena sistem yang di anut di
berbagai negara kaum muslimin bukan sistem yang
berlansakan dari pemahaman agama bahkan ada yang memisahkan agama dari kehidupan. Bahan ada
juga yang menafikan agama dari kehidupannya.
Islam adalah sebuah din yang
sempurna. Sejak diturunkan empat belas abad silam. Islam telah memberikan
kepada manusia pemecahan secara menyeluruh terhadap semua permasalahan yang
sedang maupun akan di hadapi maunusia. Allah SWT dalam hal ini berfirman :
“Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian
agama kalian, mencukupkan bagi kalian nikmat-Ku, dan meridhai Islam sebagai
agama kalian” (TQS.Al Maidah [5]:3)
Sebagai pedoman
yang di buat oleh Allah, tentu saja Al-Quran maupun memecahkan permasalahan
yang terjadi pada mahluknya sekaligus bagaimana memecahkan problematika terjadi
atasnya.wujud dari kesempurnaan ajaran Islam, Islam tidak hanya mengatur
masalah hubungan manusia dengan penciptanya (ibadah), tetapi Islam juga
mengatur dan menyelesikan permasalahan hubungan manusia dengan dirinya sendiri
maupun dengan sesamanya (muamalah).
Metode
Jenis penelitian
yang digaunakan adalah jenis penelitian kulaitatif yaitu penelitian yang secara
langsung terhadap objek yang di teliti. Metode yang dilakuan untuk membuat
jurnal “PERATURAN HIDUP DALAM ISLAM” dengan cara melihat fakta saat
ini, umat Islam seperti anak ayam yang kehilangan iduknya ataupun seperti buih
di lautan.
Pendahuluan
Kini islam hanya
di jadikan agama spiritual saja dan hanya digunkan saat beribadah saja, Islam
hanya di pandang sebagai agama rohani tanpa di jadikan mabda atau pandangan
hidup oleh kaum muslimin di seluruh dunia.karena sistem yang di anut di
berbagai negara kaum muslimin bukan sistem yang berlansakan dari pemahaman
agama bahkan ada yang memisahkan agama dari kehidupan. Bahan ada juga yang
menafikan agama dari kehidupannya.
Islam
adalah sebuah agama yang sempurna. Sejak diturunkan
empat belas abad silam. Islam telah memberikan kepada manusia pemecahan secara
menyeluruh terhadap semua permasalahan yang sedang maupun akan di hadapi
maunusia. Allah SWT dalam hal ini berfirman :
“Pada hari ini Aku
telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, mencukupkan bagi kalian
nikmat-Ku, dan meridhai Islam sebagai agama kalian” (TQS.Al Maidah [5]:3)
Sebagai pedoman
yang di buat oleh Allah, tentu saja Al-Quran maupun memecahkan permasalahan
yang terjadi pada mahluknya sekaligus bagaimana memecahkan problematika terjadi
atasnya.wujud dari kesempurnaan ajaran Islam, Islam tidak hanya mengatur
masalah hubungan manusia dengan penciptanya (ibadah), tetapi Islam juga
mengatur dan menyelesikan permasalahan hubungan manusia dengan dirinya sendiri
maupun dengan sesamanya (muamalah).
Metode
Jenis penelitian yang digaunakan adalah jenis
penelitian kulaitatif yaitu penelitian yang secara langsung terhadap objek yang
di teliti. Metode yang dilakuan untuk membuat jurnal “PERATURAN HIDUP DALAM
ISLAM” dengan cara melihat fakta saat ini, umat Islam seperti anak ayam yang
kehilangan iduknya ataupun seperti buih di lautan.
Pendahuluan
Islam adalah agama
yang allah turunkan kepada Nabi Muhammad SAW, Mengatur segala perkara dalam
kehidupan yaitu hubungannya dengan penciptanya maupun hubungan dengan sesame
manusia lainnya. Hubungan manusia dengan sang penciptanya yaitu perkara
akidah,dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya yaitu mencakup perkara
akhlak dan pandangan hidupnya. Hubungan manusia dengan manusia lainnya yaitu
dalam perkara muamalah dan uqubat. Dengan demikian islam merupakan pandangan
hidup atau mabda (idiologi) yang mengatur dalam segala aspek kehidupan manusia.
Bahkan islam tidak sama sekali berkaitan dengan kepastoran. Islam sanagat
menjauhakan otokrasi/ teoraksi (kediktatoran perintah agama).
Di dalam Islam tidak ada istilah sekelompok ahli agama juga tidak di jumpai
ahli politik. Setiap orang yang memeluk agama Islam disebut sebagai kaum
muslimin. dalam Islam tidak ada perbedaan golongan atau dalam Islam semua di
pandang sama. Dalam Islam tidak di sebut kaum rohaniawan ataupun tenokrat.Ada pun dalam Islam yang di sebut kerohanian adalah
bahwa segala sesuatu itu mahluk di hadapn penciptanya atau Khaliq-Nya,
yang teratur mengikuti perintah Khaliq-Nya. Dalam tinjauan yang menendalam
mengenai alam, manusia dan hdup, serta apa yang ada di sekitarnya bahwa manusia
dapat membukitan kekurangan, kelemahan dan ketergantungan dirinya. . Ini
dapat di indra dan disakikan atas segala sesuatu yang berkaitan dengannya yaitu
alam semesta semesta, manusia dan hidup. Dengan di lakukan tinjauan bahwa
ketiganya di sebut mahluk bagi Khaliq-Nya dan di ataur dengan peraturan yang
telah di perintah sang penciptanya. Tentu saja tidak menggunakan aturan yang
dibuat sesama manusianya tetapi menggunakan aturan yang telah pencptanya
berikan atau smapaikan , karena manusia bersifat lemah dan tidak mampu mengetahui
segala sesuatu, karena pemahaman manusia atau karena manusia bersifat lemah
sangat memungkinkan bila manusia menggunakan peraturan yang di buat manusia
akan terjadi perdebatan,perselisihan dan pertentangan. Karena itu, peraturan tersebut harus berasal
dari sang pencipta atau Allah SWT. Konsekonsinya, manusia harus menyesuaikan
seluruh amal perbuatannya sengan peraturan yang bersumber dari Allah SWT. Namun
apabila mengikuti peraturan ini berdasarkan hanya pada adanya manfaat di dalam
peraturan, buakan berdasarkan pada kesadaran bahwa peraturan tersebut bersumber
dari Allah, tentu tidak terdapat aspek kerohanian didalammnya. Baerdasarkan hal
ini hendaknya seluruh amal perbuatan manusia di atur berdasarkan perintah dan
larangan Allah, yang di landandasi oleh kesadaran manusia teradap hubungan
dengan Allah SWT, sehingga akan terwujudnya ruh dan amal-amal perbuatannya.
Dengan kata lain harus ada kesadaran akan hubungan dengan Allah. Dengan
kesadarannya ini manusia akan nampak pada saat melakukan setiap amal
perbuatannya. Arti ruh adalah kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah.
Sedangkan yang dimaksud dengan menggabungkan ruh dengan materi adalah
terujudnya kesadaran akan hubunganya dengan Allah, tatakala ia melakukan amal
perbuatan. Dengan demikian manusia akan menyesuiakan setiap amal perbuatannya
dengan perintah Allah dan larangan-Nya berdasarkan kesadarannya hungannya
dengan Allah. Amal perbuatan bersifat materi, sedangkan akan hubungannya denagn
Allah tatakala melakukan setiap perbuatan dinamakan ruh. Penggabungan atra amal
perbuatan dan perintah Allah dan larangan-Nya yang didasarkan pada kesadaran
hubungan dengan Allah, itulah yang dimaksud dengan menyatukan materi dan ruh.
Atas dasar penjelasan ini maka kesesuaian amal perbuatan orang yang bukan
muslim dengan hukum-hukum syari’at yang di gali dari Al-Qur’an dan sunah tidak
di golongkan sebagai aktivitas yang di pengaruhi oleh ruh. Bahkan penggabungan
materi dengan ruh tidak ada sama sekali dalam perbuatan itu , sebab ia tidak
beriman kepada Islam. Denagan sendirinya dia tidak menyadarinya hubungannya
dengan Allah. Ia hanya mengambil hukum-hukum syari’at itu sebagai peraturan
yang di kaguminya. Yang mengatur amal perbuatannya. Beda hal dengan seorang
muslim yang melakukan segala perbuatan sesuai dengan perintah dan laranga Allah
SWT yang di bangun berlandaskan kesadaran hubunganya dengan Allah, dan tujuanya
untuk mencari keridhoan Allah SWT, bukan sekedar mendapat manfaat dari
peraturan atau hukum syari’at Islam. Karena itu, harus terdapat aspek rohaniah
dalam segala sesuatu, dan harus ada ruh tatakala melakukan tatakala melakukan
seluruh amal perbuatan. Setiap orang memahami denagn jelas bahwa arti aspek
kerohanian adalah segala sesuatu itu merupakan makhluk bagi penciptanya. Ia
adalah penghubung makhluk dengan penciptanya. Sedangkan ruh adalah kesadaran
tentang hubungan ini, yaitu kesadran manusia akan hubunganya dengan Allah.
Inilah yang dimaksud dengan aspek kerohanian dan ruh. Inilah satu-satunya
persepsi (mafhum) yang benar. Diluar persepsi itu adalah salah. Tinjauan yang
mendalam dan cemerlang mengenai alam, hidup, dan manusia, inilah yang telah
menghantarkan kepada hasil pemikiran yang benar, serta telah menghasilkan
persepsi yang benar. Sebagian agama memandang bahwa alam terdiri dari dua jenis,
yang dapat diindera dan yang abstrak (ghaib). Manusia terdiri dari aspek
kerohanian dan jasmani. Di dalam kehidupan terdapat unsur materi dan aspek
rohani. Bahwa unsur materi itu berlawanan dengan perkara ghaib. Karena itu,
aspek kerohanian tidak akan pernah bertemu dengan unsur materi. Keduanya
terpisah. Di antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat prinsipil dilihat
dari hakekatnya, dan tidak mungkin keduanya disatukan. Setiap usaha untuk
memperkuat salah satu dari keduanya justru akan memperlemah salah satunya.
Berdasarkan hal ini maka orang yang menghendaki kehidupan akhirat harus
memperkuat aspek spiritualnya. Dari sini timbullah dalam agama Masehi dua
kekuasaan, yaitu kekuasaan spiritual dan kekuasaan politik, yang terkenal
dengan semboyan: ‘Berilah apa yang menjadi milik kaisar untuk kaisar, dan apa
yang menjadi milik Allah untuk Allah’. Sementara itu, yang menguasai kekuasaan
spiritual adalah para pastor dan gerejawan, yang selalu berusaha untuk
mengambil alih kekuasaan politik agar berada di tangannya. Maksudnya agar
mereka dapat memperkuat kekuasaan spiritual atas kekuasaan politik dalam
kehidupan. Akibatnya muncul pertentangan antara kekuasaan spiritual dengan
kekuasaaan politik. Pada akhirnya disepakati bahwa para gerejawan diberi hak otonom
dalam kekuasaan spiritual dan tidak boleh mencampuri kekuasaan politik. Agama
telah dipisahkan dari kehidupan, karena bersifat teokratis/ritual belaka.
Pemisahan antara agama dan kehidupan inilah yang menjadi akidah bagi mabda
kapitalis, sekaligus menjadi asas peradaban Barat. Ini pulalah yang menjadi
qiyadah fikriyah (kepemimpinan berpikir) yang dipropagandakan imperialis Barat
ke seluruh dunia, dan selalu mereka propagandakan serta dijadikan tonggak
kebudayaannya. Dengan asas itu mereka berusaha menggoncang akidah kaum muslimin
terhadap Islam. Mereka menyamakan Islam dengan agama masehi (Nashrani), dengan
analogi menyeluruh. Dengan demikian siapa saja yang mempropagandakan “pemisahan
agama dari kehidupan” atau “pemisahan agama dari negara dan politik” tidak lain
–mereka- hanyalah pembebek yang dipengaruhi dan disetir oleh qiyadah fikriyah
Barat, menjadi kaki tangan para penjajah -tanpa dilihat lagi apakah berniat
baik atau buruk-. Orang semacam ini bisa dikatakan bodoh, tidak mengerti Islam,
atau bahkan musuh yang menentang Islam. Islam mengaggap bahwa segala sesuatu
yang dicerap oleh indera adalah hal-hal yang berbentuk materi. Sedangkan aspek
kerohaniannya adalah keberadaannya sebagai makhluk. Dan ruh adalah kesadaran
manusia akan hubungannya dengan Allah. Tidak ada sesuatu yang terpisah antara
aspek ruhiyah dengan materi. Tidak ada dalam diri manusia mengintensifkan
rohani dan menggelandangkan jasmani. Yang ada pada diri manusia adalah
kebutuhan jasmani dan naluri yang harus dipenuhi. Diantara naluri-naluri itu
terdapat naluri beragama, yaitu kebutuhan terhadap Sang Pencipta dan Pengatur,
yang muncul dari kelemahan manusia secara alami dalam proses kejadiannya.
Pemenuhan naluri-naluri itu tidak disebut sebagai aspek kerohanian ataupun
aspek materi, melainkan hanya sekedar penyaluran saja. Namun demikian, apabila
kebutuhan jasmani dan naluri itu disalurkan menurut aturan-aturan Allah
disertai kesadaran akan hubungannya dengan Allah, berarti dia telah sejalan
dengan ruh. Tetapi jika kebutuhan jasmani dan naluri dipenuhi tanpa aturan,
atau dengan peraturan yang bukan berasal dari Allah SWT, maka hal itu hanya
merupakan pemenuhan materi/jasmani semata, yang mengakibatkan kenestapaan
manusia. Naluri melestarikan jenis, misalnya, apabila dipenuhi tanpa aturan atau
dengan peraturan yang bukan berasal dari Allah SWT, hal ini akan menyebabkan
kesengsaraan manusia. Sebaliknya, apabila terpenuhi dengan tata-aturan
perkawinan yang berasal dari Allah SWT, sesuai dengan hukum-hukum Islam, maka
perkawinan itu akan menghasilkan ketenteraman. Contoh lain adalah naluri
beragama. Apabila dipenuhi tanpa aturan atau dengan peraturan yang bukan
berasal dari Allah SWT, misalnya dengan menyembah patung atau menyembah sesama
manusia, maka hal ini termasuk perbuatan syirik dan kufur. Sebaliknya, apabila
dipenuhi dengan hukum-hukum Islam, maka pemenuhan tersebut merupakan ibadah.
Adalah suatu keharusan untuk selalu memelihara aspek kerohanian dalam segala
perkara, dan selalu menyesuaikan seluruh amal perbuatan dengan perintah dan larangan
Allah, dengan dilandasi atas kesadaran akan hubungannya dengan Allah. Dengan
kata lain, hendaknya sesuai dengan ruh. Jadi, dalam satu amal perbuatan tidak
ada dua unsur (spiritual dan materi). Yang ada hanya satu macam saja, yaitu
amal perbuatan itu sendiri. Adapun sifatnya, apakah termasuk materi belaka
ataukah berjalan sesuai dengan ruh, hal ini bukan berasal dari amal perbuatan,
melainkan berasal dari apakah amal perbuatan berjalan sesuai dengan hukumhukum
Islam atau tidak. Seorang muslim yang membunuh musuhnya di medan perang,
perbuatannya itu termasuk jihad. Ia memperoleh pahala karena telah berbuat
sesuai dengan hukum-hukum Islam. Sedangkan seorang muslim yang membunuh jiwa
yang suci (baik muslim maupun non muslim) tanpa alasan -yang dibenarkan syariat
Islam-, perbuatannya itu termasuk tindakan kriminal. Ia memperoleh sanksi
karena telah berbuat sesuatu yang berlawanan dengan perintah dan larangan
Allah. Dua tindakan ini sebenarnya satu macam, yaitu pembunuhan yang dilakukan
oleh seorang manusia. Pembunuhan bisa menjadi ibadah tatkala dilakukan
berdasarkan ruh, dan bisa menjadi kejahatan apabila dilakukan tidak sesuai
dengan ruh. Karena itu, sudah selayaknya seorang muslim menyertakan ruh pada
setiap amal perbuatannya. Jadi, penggabungan antara ruh dengan materi bukan
saja perkara yang dianggap mungkin terjadi, tetapi memang harus dilakukan.
Artinya, tidak boleh memisahkan materi dengan ruh. Tidak boleh memisahkan
setiap perbuatan dengan keterikatannya terhadap perintah dan larangan Allah
SWT, yang dilandasi kesadaran akan hubungannya dengan Allah. Dengan demikian,
setiap usaha pemisahan antara aspek kerohanian dengan materi harus dihindari.
Sebab, di dalam Islam tidak ada profesi keagamaan. Tidak ada kekuasaan agama
dalam arti teokrasi. Juga tidak ada kekuasaan politik yang terpisah dari agama.
Islam adalah agama dimana negara menjadi salah satu bagian dari agama. Hal ini
ditunjukkan oleh berbagai hukum, yang kedudukannya sama dengan hukum-hukum
tentang shalat. Negara merupakan satu-satunya metode untuk menerapkan
hukum-hukum Islam dan menyebarluaskan dakwahnya. Setiap usaha yang akan
menyudutkan agama dengan arti ritual belaka dan menyingkirkannya dari arena
politik dan pemerintahan, harus disingkirkan. Yayasan-yayasan yang mengelola
aktivitas kerohanian hendaknya ditiadakan. Badan pemerintah yang mengurus
masjid dihapus, lalu pengaturannya dialihkan kepada Departemen Pendidikan.
Demikian pula mahkamah-mahkamah syariat dan sipil dirombak, dan dijadikan
peradilan tunggal, yang hanya menerapkan hukum Islam. Sebab, kekuasaan Islam
itu adalah kekuasaan tunggal. Islam adalah akidah dan peraturan (syariat).
Akidah Islam adalah beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, serta Qadla dan Qadar -bahwa baik
buruknya dari Allah SWT-. Islam membangun akidah berdasarkan pembuktian akal
dalam hal-hal yang dapat dijangkau oleh akal. Seperti iman kepada wujud
(keberadaan) Allah, kenabian Muhammad SAW, dan terhadap (mukjizat) Al-Quran
Al-Karim. Dan Islam membangun hal-hal yang ghaib, yaitu perkara yang akal tidak
mungkin mampu menjangkaunya. Seperti Hari Kiamat, keberadaan malaikat, Surga
dan Neraka, yang didasarkan pada pengakuan dan penyerahan total, yang bersumber
dari sesuatu yang telah terbukti kebenarannya melalui akal, yaitu Al-Quran
Al-Karim dan Hadits mutawatir. Disamping itu Islam telah menjadikan akal
sebagai obyek hukum (taklif). Adapun yang dimaksud dengan peraturan Islam,
adalah hukum-hukum syariat yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Peraturan Islam mencakup seluruh aspek kehidupan. Hanya saja dalam
bentuk-bentuk yang umum (garis besar), dan dengan makna-makna (petunjuk) yang
umum pula. Sedangkan rinciannya dapat digali dari berbagai makna-makna umum
tadi tatkala menerapkan hukum-hukum tersebut. Didalam Al-Quran dan Hadits
Syarif telah terhimpun garis-garis besar, yaitu mencakup berbagai keterangan
umum untuk memecahkan berbagai urusan manusia secara universal. Para mujtahid
diberikan kebebasan untuk menggali keterangan-keterangan umum tersebut menjadi hukum-hukum
yang terperinci, tentang berbagai macam problematika yang muncul sepanjang masa
dan di berbagai tempat yang berbeda. Islam hanya memiliki satu metoda
(thariqah) dalam memecahkan berbagai macam problematika, yaitu dengan cara
mendorong seorang mujtahid untuk mempelajari persoalan-persoalan yang baru,
sehingga benar-benar memahaminya. Kemudian mempelajari nash-nash syara’ yang
berkaitan dengan persoalan tersebut. Dan pada akhirnya mengambil kesimpulan
hukum untuk memecahkan persoalan itu berdasarkan nash-nash syara’. Dengan kata
lain seorang mujtahid menggali hukum syara’ tentang persoalan tersebut dari
dalil-dalil syar’i. Secara mutlak ia tidak menempuh jalan yang lain. Namun
demikian tatkala ia mempelajari persoalan tersebut, ia harus mempelajarinya
sebagai salah satu persoalan manusia secara universal dan tidak menganggapnya
sebagai persoalan ekonomi, sosial, atau pemerintahan saja, atau yang lainnya.
Hal itu dilihatnya sebagai persoalan yang memerlukan ketentuan hukum syara
sehingga dapat diketahui hukum Allah yang berkaitan dengannya.
JALAN MENUJU IMAN
Bangkitnya manusia tergantung pada
pemikirannya tentang hidup, alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya
dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya. Agar manusia
mampu bangkit harus ada perubahan mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran
manusia dewasa ini, untuk kemudian diganti dengan pemikiran lain. Sebab,
pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat mafahim (persepsi) terhadap segala
sesuatu. Disamping itu, manusia selalu mengatur tingkah lakunya dalam kehidupan
ini sesuai dengan mafahim-nya terhadap kehidupan. Sebagai contoh, mafahim
seseorang terhadap orang yang dicintainya akan membentuk perilaku yang
berlawanan dari orang tersebut terhadap orang lain yang dibencinya, karena ia
memiliki mafahim kebencian terhadapnya. Begitu juga akan berbeda terhadap orang
yang sama sekali tidak dikenalnya, karena ia tidak memiliki mafhum apapun
terhadap orang tersebut. Jadi, tingkah laku manusia selalu berkaitan erat dengan
mafahim yang dimilikinya. Dengan demikian, apabila kita hendak mengubah tingkah
laku manusia yang rendah menjadi luhur, maka tidak ada jalan lain kecuali harus
mengubah mafhum-nya terlebih dahulu. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah
apa yang ada pada diri mereka” (TQS. Ar-Ra’d [13]: 11).
Satu-satunya jalan
untuk mengubah mafahim seseorang adalah dengan mewujudkan suatu pemikiran
tentang kehidupan dunia sehingga dapat terwujud mafahim yang benar tentang
kehidupan tersebut. Namun, pemikiran seperti ini tidak akan melekat erat dan
memberikan hasil yang berarti, kecuali apabila terbentuk dalam dirinya
pemikiran tentang alam semesta, manusia, dan hidup; tentang Zat yang ada
sebelum kehidupan dunia dan apa yang ada sesudahnya; disamping juga keterkaitan
kehidupan dunia dengan Zat yang ada sebelumnya dan apa yang ada sesudahnya.
Semua itu dapat dicapai dengan memberikan kepada manusia pemikiran menyeluruh
dan sempurna tentang apa yang ada di balik ketiga unsur utama tadi. Sebab,
pemikiran menyeluruh dan sempurna semacam ini merupakan landasan berpikir
(al-qa’idah al-fikriyah) yang melahirkan seluruh pemikiran cabang tentang
kehidupan dunia. Memberikan pemikiran menyeluruh mengenai ketiga unsur tadi,
merupakan solusi fundamental pada diri manusia. Apabila solusi fundamental ini
teruraikan, maka terurailah berbagai masalah lainnya. Sebab, seluruh
problematika kehidupan pada dasarnya merupakan cabang dari problematika pokok
tadi. Namun demikian, pemecahan itu tidak akan mengantarkan kita pada
kebangkitan yang benar, kecuali jika pemecahan itu sendiri adalah benar, yaitu
sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal, dan memberikan ketenangan hati.
Pemecahan yang benar tidak akan dapat ditempuh kecuali dengan al-fikru
al-mustanir (pemikiran cemerlang) tentang alam semesta, manusia, dan hidup.
Karena itu, bagi mereka yang menghendaki kebangkitan dan menginginkan
kehidupannya berada pada jalan yang mulia, mau tidak mau lebih dahulu mereka
harus memecahkan problematika pokok tersebut dengan benar, melalui berpikir
secara cemerlang tadi. Pemecahan inilah yang menghasilkan akidah, dan menjadi
landasan berpikir yang melahirkan setiap pemikiran cabang tentang perilaku
manusia di dunia ini serta peraturanperaturannya. Islam telah menuntaskan
problematika pokok ini dan dipecahkan untuk manusia dengan cara yang sesuai
dengan fitrahnya, memuaskan akal, serta memberikan ketenangan jiwa.
Ditetapkannya pula bahwa untuk memeluk agama Islam, tergantung sepenuhnya
kepada pengakuan terhadap pemecahan ini, yaitu pengakuan yang betul-betul
muncul dari akal. Karena itu, Islam dibangun di atas satu dasar, yaitu akidah.
Akidah menjelaskan bahwa di balik alam semesta, manusia, dan hidup, terdapat
Pencipta (Al-Khaliq) yang telah meciptakan ketiganya, serta yang telah
meciptakan segala sesuatu lainnya. Dialah Allah SWT. Bahwasanya Pencipta telah
menciptakan segala sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Ia bersifat wajibul
wujud, wajib adanya. Sebab, kalau tidak demikian, berarti Ia tidak mampu
menjadi Khaliq. Ia bukanlah makhluk, karena sifat-Nya sebagai Pencipta
memastikan bahwa diri-Nya bukan makhluk. sementara Ia tidak bersandar kepada
apapun. Bukti bahwa segala sesuatu mengharuskan adanya Pencipta yang
menciptakannya, dapat diterangkan sebagai berikut: bahwa segala sesuatu yang
dapat dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam
semesta, dan hidup. Ketiga unsur ini bersifat terbatas, lemah, serba kurang,
dan saling membutuhkan kepada yang lain. Misalnya manusia. Manusia terbatas
sifatnya, karena ia tumbuh dan berkembang sampai pada batas tertentu yang tidak
dapat dilampuinya lagi. Ini menunjukkan bahwa manusia bersifat terbatas. Begitu
pula halnya dengan hidup, bersifat terbatas, karena penampakannya bersifat
individual. Apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahwa hidup ini berakhir
pada satu individu saja. Jadi, hidup juga bersifat terbatas. Sama halnya dengan
alam semesta yang memiliki sifat terbatas. Alam semesta merupakan himpunan dari
benda-benda angkasa, yang setiap bendanya memiliki keterbatasan. Himpunan
segala sesuatu yang terbatas, tentu terbatas pula sifatnya. Jadi, alam semesta
pun bersifat terbatas. Walhasil, manusia, hidup, dan alam semesta, ketiganya
bersifat terbatas. Apabila kita melihat kepada segala sesuatu yang bersifat
terbatas, akan kita simpulkan bahwa semuanya tidak azali. Jika bersifat azali (tidak
berawal dan tidak berakhir), tentu tidak mempunyai keterbatasan. Dengan
demikian segala yang terbatas pasti diciptakan oleh “sesuatu yang lain”.
“Sesuatu yang lain” inilah yang disebut Al-Khaliq. Dialah yang menciptakan
manusia, hidup, dan alam semesta. Dalam menentukan keberadaan Pencipta ini akan
kita dapati tiga kemungkinan. Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain. Kedua, Ia
menciptakan diri-Nya sendiri. Ketiga, Ia bersifat azali dan wajibul wujud.
Kemungkinan pertama bahwa Ia diciptakan oleh yang lain adalah kemungkinan yang
bathil, tidak dapat diterima oleh akal. Sebab, bila benar demikian, tentu Ia
bersifat terbatas. Begitu pula dengan kemungkinan kedua, yang menyatakan bahwa
Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Jika demikian berarti Dia sebagai makhluk dan
Khaliq pada saat yang bersamaan. Hal yang jelas-jelas tidak dapat diterima.
Karena itu, Al-Khaliq harus bersifat azali dan wajibul wujud. Dialah Allah SWT.
Siapa saja yang mempunyai akal akan mampu membuktikan —hanya dengan adanya
benda-benda yang dapat diinderanya— bahwa di balik benda-benda itu pasti
terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Fakta menunjukkan bahwa semua
benda itu bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling membutuhkan. Hal ini
menggambarkan segala sesuatu yang ada hanyalah makhluk. Jadi untuk membuktikan
adanya Al-Khaliq Yang Maha Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengarahkan
perhatian manusia terhadap benda-benda yang ada di alam semesta, fenomena
hidup, dan diri manusia sendiri. Dengan mengamati salah satu planet yang ada di
alam semesta, atau dengan merenungi fenomena hidup, atau meneliti salah satu
bagian dari diri manusia, akan kita dapati bukti nyata dan meyakinkan akan
adanya Allah SWT. Karena itu, dalam Al-Quran terdapat ajakan untuk mengalihkan
perhatian manusia terhadap benda-benda yang ada, seraya mengajaknya turut
mengamati dan memfokuskan perhatian terhadap benda-benda tersebut dan segala
sesuatu yang ada di sekelilingnya, atau yang berhubungan dengannya, agar dapat
membuktikan adanya Allah SWT. Dengan mengamati benda-benda tersebut, bagaimana
satu dengan yang lain saling membutuhkan, akan memberikan suatu pemahaman yang
meyakinkan dan pasti, akan adanya Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur.
Al-Quran telah membeberkan ratusan ayat berkenaan dengan hal ini, antara lain
firman-firman Allah SWT:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang
berakal” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 190).
Dengan demikian setiap Muslim wajib
menjadikan imannya betul-betul muncul dari proses berfikir, selalu meneliti dan
memperhatikan serta senantiasa bertahkim (merujuk) kepada akalnya secara mutlak
dalam beriman kepada (adanya) Allah SWT. Ajakan untuk memperhatikan alam
semesta dengan seksama, dalam rangka mencari sunatullah serta untuk memperoleh
petunjuk agar beriman terhadap Penciptanya, telah disebut ratusan kali oleh
AlQuran dalam berbagai surat yang berbeda. Semuanya ditujukan kepada potensi
akal manusia untuk diajak berfikir dan merenung, sehingga imannya betul-betul
muncul dari akal dan bukti yang nyata. Disamping untuk memperingatkannya agar
tidak mengambil jalan yang telah ditempuh oleh nenek moyangnya, tanpa meneliti
dan menguji kembali sejauh mana kebenarannya. Inilah iman yang diserukan oleh
Islam. Iman semacam ini bukanlah seperti yang dikatakan orang sebagai imannya
orang-orang lemah, melainkan iman yang berpijak pada pemikiran yang cemerlang
dan meyakinkan, yang senantiasa mengamati (alam sekitarnya), berpikir dan
berpikir. Melalui pengamatan dan perenungannya akan sampai kepada keyakinan
tentang adanya Allah Yang Maha Kuasa. Kendati wajib atas manusia menggunakan
akalnya dalam mencapai iman kepada Allah SWT, namun tidak mungkin ia menjangkau
apa yang ada di luar batas kemampuan indera dan akalnya. Sebab akal manusia
terbatas. Terbatas pula kekuatannya sekalipun meningkat dan bertambah sampai
batas yang tidak dapat dilampauinya; terbatas pula jangkauannya. Melihat
kenyataan ini, maka perlu diingat bahwa akal tidak mampu memahami Zat Allah dan
hakekat-Nya. Sebab, Allah SWT berada di luar ketiga unsur pokok (alam semesta,
manusia, dan hidup) tadi. Sedangkan akal manusia tidak mampu memahami apa yang
ada di luar jangkauannya. Ia tidak akan mampu memahami Zat Allah. Tetapi bukan
berarti dapat dikatakan “Bagaimana mungkin orang dapat beriman kepada Allah
SWT, sedang akalnya sendiri tidak mampu memahami Zat Allah?” Tentu, kita tidak
mengatakan demikian, karena pada hakekatnya iman itu adalah percaya terhadap
wujud Allah SWT. Sedangkan wujud-Nya dapat diketahui melalui
makhluk-makhluk-Nya, yaitu alam semesta, manusia, dan hidup. Tiga unsur ini
berada dalam batas jangkauan akal manusia. Dengan memahami ketiga hal ini,
orang dapat memahami adanya Pencipta, yaitu Allah SWT. Karena itu, iman
terhadap adanya Allah dapat dicapai melalui akal, dan berada dalam jangkauan
akal. Usaha manusia untuk memahami hakekat Zat Allah SWT merupakan perkara yang
mustahil untuk dicapai. Sebab, Zat Allah berada di luar unsur alam semesta,
manusia, dan hidup. Dengan kata lain berada di luar jangkauan kemampuan akal.
Akal tidak mungkin memahami hakekat yang ada di luar batas kemampuannya, karena
perannya amat terbatas. Seharusnya keterbatasannya itu justru menjadi faktor
penguat iman, bukan sebaliknya malah menjadi penyebab keragu-raguan dan
kebimbangan. Apabila iman kita kepada Allah SWT telah dicapai melalui proses
berfikir, maka kesadaran kita terhadap adanya Allah menjadi sempurna. Begitu
pula jika perasaan hati kita (yang timbul dari wijdan, pent.) mengisyaratkan
adanya Allah, lalu dikaitkan dengan akal, tentu perasaan tersebut akan mencapai
suatu tingkat yang meyakinkan. Bahkan hal itu akan memberikan suatu pemahaman
yang sempurna serta perasaan yang meyakinkan terhadap sifat-sifat ketuhanan.
Dengan sendirinya, cara tersebut akan meyakinkan kita bahwa manusia tidak
sanggup memahami hakekat Zat Allah. Sebaliknya hal ini justru akan memperkuat
iman kita kepada-Nya. Disamping keyakinan seperti ini, kita wajib berserah diri
terhadap semua yang dikhabarkan Allah SWT tentang hal-hal yang yang tidak
sanggup dicerna atau yang tidak dapat dicapai oleh akal. Ini disebabkan
lemahnya akal manusia yang memiliki ukuran-ukuran nisbi yang serba terbatas
kemampuannya, untuk memahami apa yang ada di luar jangkauan akalnya. Padahal
untuk memahami hal semacam ini, diperlukan ukuran-ukuran yang tidak nisbi dan
tidak terbatas, yang justru tidak dimiliki dan tidak akan pernah dimiliki
manusia. Adapun bukti kebutuhan manusia terhadap para Rasul, dapat kita lihat
dari fakta bahwa manusia adalah makhluk Allah SWT. Dan beragama adalah sesuatu
yang fitri pada diri manusia, karena termasuk salah satu naluri yang ada pada
manusia. Dalam fitrahnya, manusia senantiasa mensucikan Penciptanya. Aktivitas
inilah yang dinamakan ibadah, yang berfungsi sebagai tali penghubung antara
manusia dengan Penciptanya. Apabila hubungan ini dibiarkan begitu saja tanpa
aturan, tentu akan menimbulkan kekacauan ibadah. Bahkan dapat menyebabkan
terjadinya penyembahan kepada selain Pencipta. Jadi, harus ada aturan tertentu
yang mengatur hubungan ini dengan peraturan yang benar. Hanya saja, aturan ini
tidak boleh datang dari manusia. Sebab, manusia tidak mampu memahami hakekat
Al-Khaliq sehingga dapat meletakkan aturan antara dirinya dengan Pencipta.
Maka, aturan ini harus datang dari Al-Khaliq. Karena aturan ini harus sampai ke
tangan manusia, maka tidak boleh tidak harus ada para Rasul yang menyampaikan
agama Allah ini kepada umat manusia. Bukti lain kebutuhan manusia terhadap para
Rasul adalah bahwa pemuasan manusia terhadap tuntutan gharizah (naluri) serta
kebutuhan-kebutuhan jasmani, adalah keharusan yang sangat diperlukan. Pemuasan
semacam ini jika dibiarkan berjalan tanpa aturan akan menjurus ke arah pemuasan
yang salah dan menyimpang, yang pada gilirannya akan menyebabkan kesengsaraan
umat manusia. Dengan demikian, harus ada aturan yang mengatur setiap naluri dan
kebutuhan jasmani ini. Hanya saja, aturan ini tidak boleh datang dari pihak
manusia. Sebab, pemahaman manusia dalam mengatur naluri dan kebutuhan jasmani
selalu berpeluang terjadi perbedaan, perselisihan, pertentangan, dan
terpengaruh lingkungan tempat tinggalnya. Apabila manusia dibiarkan membuat
aturan sendiri, tentu aturan tersebut akan memungkinkan terjadinya perbedaan,
perselisihan, dan pertentangan, yang justru akan menjerumuskannya ke dalam
kesengsaraan. Maka aturan tersebut harus datang dari Allah SWT melalui para
Rasul. Mengenai bukti bahwa Al-Quran itu datang dari Allah, dapat dilihat dari
kenyataan bahwa Al-Quran adalah sebuah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh
Rasulullah Muhammad SAW. Dalam menentukan darimana asal AlQuran, akan kita
dapatkan tiga kemungkinan. Pertama, kitab itu adalah karangan orang Arab.
Kedua, karangan Muhammad SAW. Ketiga, berasal dari Allah SWT. Tidak ada lagi
kemungkinan selain dari yang tiga ini. Sebab, Al-Quran adalah berciri khas
Arab, baik dari segi bahasa maupun gayanya. Kemungkinan pertama yang mengatakan
bahwa AlQuran adalah karangan orang Arab, tidak dapat diterima. Sebab, Al-Quran
sendiri telah menantang mereka untuk membuat karya yang serupa. Sebagaimana
tertera dalam ayat:
“Katakanlah: ‘Maka
datangkanlah sepuluh surat yang (dapat) menyamainya” (TQS. Hud [11]: 13).
Orang-orang Arab telah berusaha
keras mencobanya, akan tetapi tidak berhasil. Hal ini membuktikan bahwa
Al-Quran bukan berasal dari perkataan mereka. Mereka tidak mampu menghasilkan
karya yang serupa, kendati ada tantangan dari Al-Quran dan mereka telah
berusaha menjawab tantangan itu. Kemungkinan kedua yang mengatakan bahwa
Al-Quran itu karangan Muhammad SAW, juga tidak dapat diterima oleh akal. Sebab,
Muhammad SAW adalah orang Arab juga. Bagaimanapun jeniusnya, tetap ia sebagai
seorang manusia yang menjadi salah satu anggota dari masyarakat atau bangsanya.
Selama seluruh bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, maka
masuk akal pula apabila Muhammad —yang juga termasuk salah seorang dari bangsa
arab— tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Karena itu, jelas bahwa
Al-Quran itu bukan karangannya. Terlebih lagi dengan adanya banyak
hadits-hadits shahih yang berasal dari Nabi Muhammad SAW -yang sebagian malah
diriwayatkan lewat cara yang tawatur- yang kebenarannya tidak diragukan lagi.
Apabila setiap hadits ini dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al-Quran, maka
tidak akan dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasanya. Padahal Nabi
Muhammad SAW, disamping selalu membacakan setiap ayat-ayat yang diterimanya,
dalam waktu yang bersamaan juga mengeluarkan hadits. Namun ternyata keduanya
tetap berbeda dari segi gaya bahasanya. Bagaimanapun kerasnya usaha seseorang
untuk menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap saja
akan terdapat kemiripan antara gaya yang satu dengan yang lain, karena
merupakan bagian dari ciri khasnya dalam berbicara. Karena tidak ada kemiripan
antara gaya bahasa Al-Quran dengan gaya bahasa hadits, berarti Al-Quran itu
bukan perkataan Nabi Muhammad SAW. Masing-masing dari keduanya terdapat
perbedaan yang tegas dan jelas. Itulah sebabnya tidak seorang pun dari bangsa
Arab —orang-orang yang paling tahu gaya dan sastra bahasa arab— pernah menuduh
bahwa Al-Quran itu perkataan Muhammad SAW, atau mirip dengan gaya bicaranya.
Satu-satunya tuduhan yang mereka lontarkan adalah bahwa Al-Quran itu disadur
Muhammad SAW dari seorang pemuda Nasrani yang bernama Jabr. Tuduhan ini telah
ditolak keras oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
“(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui mereka berkata:
‘Bahwasanya Al-Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).
Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya
(adalah) bahasa ‘ajami (non-Arab), sedangkan Al-Quran itu dalam bahasa arab
yang jelas” (TQS. An-Nahl [16]: 103).
Apabila telah
terbukti bahwa Al-Quran itu bukan karangan bangsa Arab, bukan pula karangan
Muhammad SAW, berarti Al-Quran itu adalah kalamullah, yang menjadi mukjizat
bagi orang yang membawanya. Dan karena Nabi Muhammad SAW adalah orang yang
membawa Al-Quran —yang merupakan kalamullah dan syariat Allah, serta tidak ada
yang membawa syariat-Nya melainkan para Nabi dan Rasul— maka berdasarkan dalil
aqli dapat diyakini secara pasti bahwa Muhammad SAW itu adalah seorang Nabi dan
Rasul. Inilah dalil aqli tentang iman kepada Allah, kerasulan Muhammad SAW, dan
bahwa Al-Quran itu merupakan kalamullah. Jadi, iman kepada Allah itu dapat
dicapai melalui akal, dan memang harus demikian. Iman kepada Allah akan menjadi
dasar kuat bagi kita untuk beriman terhadap perkara-perkara ghaib dan segala
hal yang dikabarkan Allah SWT. Jika kita telah beriman kepada Allah SWT yang
memiliki sifat-sifat ketuhanan, maka wajib pula bagi kita untuk beriman
terhadap apa saja yang dikabarkan oleh-Nya. Baik hal itu dapat dijangkau oleh
akal maupun tidak, karena semuanya dikabarkan oleh Allah SWT. Dari sini kita
wajib beriman kepada Hari Kebangkitan dan Pengumpulan di Padang Mahsyar, Surga
dan Neraka, hisab dan siksa. Juga beriman terhadap adanya malaikat, jin, dan
syaitan, serta apa saja yang telah diterangkan Al-Quran dan hadits yang qath’i.
Iman seperti ini, walaupun diperoleh dengan jalan ‘mengutip’ (naql) dan
‘mendengar’ (sama’), akan tetapi pada hakekatnya merupakan iman yang aqli juga.
Sebab, dasarnya telah dibuktikan oleh akal. Jadi, akidah seorang Muslim itu
harus bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti dasar
kebenarannya oleh akal. Seorang Muslim wajib meyakini segala sesuatu yang telah
terbukti dengan akal atau yang datang dari sumber berita yang yakin dan pasti
(qath’i), yaitu apapun yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan hadits qath’i
-yaitu hadits mutawatir-. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi,
yaitu akal serta nash Al-Quran dan hadits mutawatir, haram baginya untuk
mengimani. Akidah tidak boleh diambil kecuali dengan jalan yang pasti.
Berdasarkan penjelasan ini, maka kita wajib beriman kepada apa yang ada sebelum
kehidupan dunia, yaitu Allah SWT; dan kepada kehidupan setelah dunia, yaitu
Hari Akhirat. Bila sudah diketahui bahwa perintah-perintah Allah merupakan
hubungan antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelumnya, terkait dengan
hubungan penciptaan; sedangkan perhitungan amal manusia atas apa yang
dikerjakannya di dunia merupakan keterkaitan dengan kehidupan setelah dunia,
maka kehidupan dunia ini harus dihubungkan dengan apa yang ada sebelum
kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya. Manusia harus terikat dengan hubungan
tersebut. Karena itu, manusia wajib berjalan dalam kehidupan ini sesuai dengan
peraturan Allah, dan wajib meyakini bahwa ia akan di-hisab di hari kiamat nanti
atas seluruh perbuatan yang dilakukannya di dunia. Dengan demikian terbentuklah
al-fikru al-mustanir tentang apa yang ada di balik alam semesta, hidup, dan
manusia. Telah terbentuk pula al-fikru al-mustanir tentang apa yang ada sebelum
kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya. Bahwasannya kehidupan tersebut
memiliki hubungan antara apa yang ada sebelum dan sesudahnya. Dengan demikian,
terurailah problematika pokok secara sempurna dengan akidah Islamiyah. Apabila
manusia berhasil memecahkan perkara ini, maka ia dapat beralih memikirkan
kehidupan dunia serta mewujudkan mafahim yang benar dan produktif tentang
kehidupan ini. Pemecahan inilah yang menjadi dasar bagi berdirinya suatu mabda
(ideologi) yang dijadikan sebagai jalan menuju kebangkitan. Pemecahan itu pula
yang menjadi dasar bagi berdirinya hadlarah yaitu suatu peradaban yang bertitik
tolak dari mabda tadi. Disamping menjadi dasar yang melahirkan
peraturan-peraturan dan dasar berdirinya Negara Islam. Dengan demikian, dasar
bagi berdirinya Islam —baik secara fikrah (ide dasar) maupun thariqah (metoda
pelaksanaan bagi fikrah)— adalah akidah Islam.
HUKUM SYARA’
Hukum Syara’ adalah khithab
Syari’ (seruan Allah sebagai pembuat hukum) yang berkaitan dengan amal
perbuatan hamba (manusia), baik itu berupa ketetapan yang sumbernya pasti
(qath’i tsubut) seperti Al-Quran dan Hadits mutawatir, maupun ketetapan yang
sumbernya masih dugaan kuat (zhanni tsubut) seperti hadits yang bukan tergolong
mutawatir. Apabila sumber ketetapannya pasti, maka perlu dicermati; yaitu jika
penunjukan dalilnya bersifat pasti (qath’iud dilalah), maka hukum yang
dikandungnya juga bersifat pasti. Misalnya jumlah rakaat shalat fardlu yang
kesemuanya bersumber dari hadits mutawatir. Begitu juga dengan hukum haramnya
riba, potong tangan bagi pencuri, atau hukum jilid bagi pezina. Semua itu
merupakan hukum-hukum yang penunjukkannya bersifat pasti dan nilai kebenaran di
dalamnya merupakan suatu ketetapan. Tidak ada tafsiran lain yang ditunjukkannya
kecuali hanya satu ketetapan pasti. Akan tetapi jika seruan Syari’ itu sumber
ketetapannya bersifat pasti sedangkan penunjukan dalilnya bersifat zhanni, maka
hukum yang terkandung di dalamnya adalah zhanni. Misalnya ayat tentang jizyah,
-uang yang dipungut negara dari orang kafir dzimmi yang menolak masuk Islam,
tetapi bersedia hidup dalam masyarakat Islam-. Dilihat dari sumber ketetapannya
bersifat qath’i, tetapi bila ditinjau dari perincianperincian hukumnya, maka
penunjukan dalilnya adalah zhanni. Mazhab Hanafi misalnya mensyaratkan
penggunaan istilah jizyah; sehingga ketika memberikannya harus tampak jelas
kehinaan bagi pembayarnya. Sedangkan Mazhab Syafi’i tidak mensyaratkan hal ini,
bahkan membenarkan mengambilnya dengan sebutan zakat mudla’afah, -zakat
berlipat ganda-, tidak perlu menampakkan kehinaan, melainkan cukup tunduk saja
terhadap hukum-hukum Islam. Adapun seruan Syari’ yang ketetapannya bersifat
zhanni tsubut seperti hadits yang bukan mutawatir, maka hukum yang terkandung
di dalamnya menjadi zhanni pula, baik itu berupa dilalah-nya yang qath’i,
seperti puasa enam hari pada Bulan Syawal yang ditetapkan oleh sunah, maupun
yang dilalah-nya zhanni, seperti larangan menyewakan lahan pertanian yang
ditetapkan oleh sunah.
MACAM-MACAM HUKUM SYARIAT ISLAM
Hukum Syari’at
Islam terdiri dari lima macam, yaitu fardlu, haram, mandub, makruh, dan mubah.
Hukum syariat Islam bisa berbentuk tuntutan untuk melakukan sesuatu atau
tuntutan untuk meninggalkannya. Jika seruan itu berbentuk tuntutan untuk untuk
melakukan sesuatu, maka seruan itu dibagi ke dalam dua macam. Pertama, yang
berkaitan dengan tuntutan yang harus dikerjakan, yang dinamakan fardlu atau
wajib. Tidak ada perbedaan antara dua istilah tersebut. Kedua, yang berkaitan
dengan tuntutan yang tidak harus dikerjakan, yaitu apa yang dinamakan mandub.
Jika hukum syara’ berkaitan dengan tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan,
maka seruan itu juga dibagi dua macam. Pertama, yang berkaitan dengan tuntutan
yang harus ditinggalkan, yang dinamakan haram atau mahdlur. Tidak ada perbedaan
antara kedua istilah tersebut. Kedua, jika berkaitan dengan tuntutan yang tidak
mengharuskan meninggalkannya. Inilah yang dinamakan makruh. Karena itu, fardlu
atau wajib adalah seluruh perbuatan yang mendapatkan pujian bagi pelakunya, dan
celaan bagi yang meninggalkannya. Atau, bagi orang yang meninggalkannya akan
memperoleh sanksi/siksaan. Sedangkan haram adalah perbuatan yang mendapatkan
celaan bagi pelakunya, dan pujian bagi yang meninggalkannya. Dengan kata lain,
orang yang melakukannya akan memperoleh sanksi/siksaan. Adapun mandub adalah
pujian bagi pelakunya, tetapi tidak mendapatkan celaan bagi yang meninggalkannya.
Sedangkan makruh adalah pujian bagi yang meninggalkannya, atau meninggalkannya
lebih utama dari pada melakukannya. Mubah, adalah apa yang dituju oleh dalil
sam’i (wahyu) terhadap seruan Syari’ yang di dalamnya terdapat pilihan, antara
melakukan atau meninggalkannya.
Komentar
Posting Komentar